2.1.1 Definisi kota
· Kota (city):
Tempat dimana konsentrasi penduduk lebih padat dari wilayah sekitarnya karena
terjadinya pemusatan kegiatan fungsional yang berkaitan dengan kegiatan atau
aktivitas penduduknya.
· Kota (city):
Pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batasan wilayah
administrasi yang diatur dalam peraturan perundangan, serta permukiman yang
telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan perkotaan (Pemendagri No.
2/1987).
· Pengertian
kota (city)dilihat dari berbagai aspek
LINGKUP
PENGERTIAN KOTA
Fisik:
Suatu wilayah dengan wilayah terbangun (buit up area) yang
lebih padat dibandingkan dengan area sekitarnya
Demografis:
Wilayah dimana terdapat konsentrasi penduduk yang
dicerminkan oleh jumlah dan tingkat kepadatan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan keadaan di wilayah sekitarnya
Sosial:
Suatu wilayah dimana terdapat kelompok-kelompok sosial
masyarakat yang heterogen (tradisional – modern, formal
informal, maju – terbelakang, dsb)
Geografis:
Suatu wilayah dengan wilayah terbangun yang lebih padat
dibandingkan dengan area sekitarnya
Statistik:
Suatu wilayah yang secara statistik besaran atau ukuran
jumlah penduduknya sesuai dengan batasan atau ukuran untuk kriteria kota
Ekonomi:
Suatu wilayah dimana terdapat kegiatan usaha yang sangat
beragam dengan dominasi di sektor non pertanian, seperti perdagangan,
perindustrian, pelayanan jasa, perkantoran, pengangkutan, dll
Administrasi:
Suatu wilayah yang dibatasi oleh suatu garis batas
kewenangan administrasi pemerintah yang ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan tertentu.
Perkotaan (urban): Kawasan yang mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan
sosial, dan kegiatan ekonomi .
· Kawasan
perkotaan juga dapat beraglomerasi membentuk suatu metropolitan à pengertian
dan contoh metropolitan.
2.1.2 Klasifikasi kota
· Kota sebagai
“node” (kota sebagai bagian dari konstelasi regional) VS Kota sebagai “area”
(kota sebagai ruang perencanaan)
· Berdasarkan ukuran
(jumlah penduduk): 1) Kota Raya (Metropolitan) : > 1.000.000, 2) Kota Besar:
500.000 – 1.000.000, 3) Kota Sedang :
100.000 – 500.0000, 4) Kota Kecil: < 100.000
· Berdasarkan fungsi
(misalnya dalam konteks Indonesia): Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat
Kegiatan Wilayah (PKW), Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Setiap negara, bergantung
pada sistem perencaannya masing-masing dapat memiliki klasifikasi yang berbeda.
· Klasifikasi kota
menurut Harris dan Ullman, berdasarkan fungsi: 1) Central places (service
centers for local hinterland), 2) Transportation cities (break-bulk and allied
for larger regions), and 3) Specialized-function cities.
2.1.3 Elemen perkotaan
· Doxiadis: Alam
(nature), Individu manusia (Antropos), Masyarakat (Society), Ruang kehidupan
(Shells), Jaringan (Network)
· Patrick Geddes:
Place, Work, Folk
· Kevin Lynch: The
image of the city (1960) à Sifat suatu obyek fisik yang menyebabkan kemungkinan
besar membuat citra yang kuat pada setiap orang à di dalam kota: path, edge,
district, node, dan landmark.

Kus Hadinoto: Wisma, Marga, Suka, Penyempurna
· Elemen kota yang
membentuk kota umumnya adalah: pusat kegiatan/pelayanan, kawasan fungsional,
dan jaringan (misalnya transportasi)
2.1.4 Teori dan konsep dasar geografi kota dan perencanaan
kota
· Perencanaan
Kota atau Manajemen Kota (Caroll, N.D.R., 1993)
Perencanaan kota à lebih memperhatikan pada persiapan dan
antisipasi kondisi kota pada masa yang akan datang, dengan titik berat pada
aspek spasial dan tata guna lahan; Manajemen Kota à lebih memperhatikan
kegiatan yang akan segera dilakukan dengan titik berat pada aspek intervensi
dan pelayanan publik yang akan berimplikasi pada kondisi kota secara
keseluruhan

2.1.5 Pentingnya perencanaan kota
· Perencanaan kota
memiliki urgensi untuk dapat menyelesaikan persoalan sebagai berikut: Excessive
size, Overcrowding, Shortage of urban services, Slums and squatter settlements,
Traffic congestion, Lack of social responsibility, Unemployment &
underemployment, Racial & social issues, Westernization vs modernization,
Environmental degradation, Urban expansion and loss of agricultural land,
Administrative organization
· Statistik menunjukkan
bahwa pada dekade ini, lebih dari 50% masyarakat dunia telah tinggal dan
memiliki penghidupan di kota dan wilayah perkotaan.
· Secara umum, 50 –
60% GDP suatu wilayah digerakkan oleh kegiatan ekonomi di kawasan
perkotaan,misalnya melalui kegiatan industri, perdagangan, dan jasa à city as
the engine of economic growth
· Perencanaan kota
juga memiliki urgensi untuk menata struktur dan relasi sosial masyarakat karena
berbeda dengan masyarakat perdesaan yang cenderung homogeny, masyarakat perkotaan
adalah terdiri atas berbagai macam kelas dan etnis (heterogen). Dalam hal ini,
perencanaan kota juga memiliki fungsi untuk menjaga stabilitas sosial.
2.2 Perkotaan
2.2.1 Tata guna lahan perkotaan
· Komponen
penggunaan lahan di wilayah perkotaan, terbagi atas kawasan budidaya dan
kawasan lindung.
· Ciri penggunaan
kawasan budidaya di perkotaan à mixed use
· Kawasan lindung
perkotaan à ruang terbuka hijau, ruang terbuka non-hijau, hutan kota.
· Konsep terkini
penggunaan lahan di perkotaan à Compact city
2.2.2 Fenomena dan karakteristik kota dan berkembangnya kota
· Perkembangan kota
(dengan menggunakan pendekatan morfologi kota) à Ditekankan pada bentuk-bentuk
fisikal kawasan perkotaan yang tercermin dari jenis penggunaan lahan, sistem
jaringan jalan, dan blok-blok bangunan.
· Townscape, Urban
sprawl, Pola jalan à sebagai indikator untuk melihat urban form, pola fisik
atau susunan elemen fisik kota. Kota dapat diklasifikasikan sebagai kota dengan
“bentuk kompak” dan “tidak kompak”


Urban sprawl
Urban sprawl
refers to the areal expansion of urban concentrations beyond what they have
been. Urban sprawl involves the conversion of land peripheral to urban centers
that has previously been used for non urban uses to one or more urban uses
(Northam, 1975). Proses perluasan/perembetan kawasan terbangun kota ke arah
luar sebagai dampak dari meningkatnya jumlah penduduk dan kegiatan perkotaan.

2.2.3 Teori struktur, tata ruang, dan perkembangan kota
(Teori Burgess, Hoyt, Harris dan Ullman, Bergel,Griffin dan Ford, Alonso, dll)
· Dua pendekatanà
Pendekatan ekologis: Concentric zone (Burges), Sectoral (Hoyt), dan Multiple
Nuclei (Haris Ullman) atau Pendekatan ekonomi – neoklasikal: land value theory,
industrial location, central place.
· Concentric Zone Model (B.W Burges)

n Model Burgess, 1920-an
I. CBD
II. Whole
sale
III. Low
income housing
IV. Middle
income hhousing
V. High
income housing
Sectoral model (H. Hoyt)
• H. Hoyt
(1939)
• Settlements
in wedge-shaped pattern instead of rings, due to rent pattern
• High rent
residential areas è strategic, accessible, best location, comfortable


• Other
centers have their own functions•
Land use pattern is built around several discrete centers, instead of
one
• Zones are
not created based on distance from CBD
· Perbandingan
antara sectoral and multle nuclei model

Perbandingan teori
yang berangkat dari pendekatan ekonomi

2.2.4 Infrastruktur wilayah dan kota
· Hubungan
pengembangan infrastruktur dan perencanaan wilayah dan kota: a) pengembangan
infrastruktur membutuhkan lahan sehingga harus direcanakan agar efisien; b)
sistem infrastruktur akan menjadi kerangka bagi pola pemanfaatan ruang kota; c)
sistem jaringan tidak terikat pada batas administrasi di dalam kota.
· Jenis – jenis
infrastruktur wilayah dan kota: transportasi, energi, air bersih, persampahan
dan limbah, telekomunikasi.
· Pengembangan
infrastruktur juga dilakukan paralel dengan penyediaan fasilitas sosial;
meliputi fasilitas kesehatan, pendidikan, perdagangan, pariwisata, dan
sebagainya.
· Beberapa
permasalahan pengembangan infrastruktur wilayah dan kota: a) kesulitan dalam
praktik untuk memastikan pembangunan infrastruktur sesuai dengan perencanaan
wilayah dan kota; b) adanya permasalahan kewenangan, koordinasi, dan
pemberlakukan rencana tata ruang sebagai
landasan bagi pembangunan infrastruktur; c) persoalan pendanaan yang timbul
akibat pendekatan sektoral di dalam penganggaran; d) persoalan territorial dan
jangkauan pelayanan serta sinergi rencana tata ruang dengan masing-masing
sektor infrastruktur; e) kecepatan pembangunan dan pengembangan.
2.2.5 Ekonomi perkotaan
· Tahap perkembangan
kota: Export specialization à Export complex à Economic Maturation
2.2.6 Penduduk kota
· Penduduk kota dan
urbanisasi (De Bruijne, 1987).
Suatu fenomena yang mencakup: Pertumbuhan persentase
penduduk yang bertempat tinggal di perkotaan, baik secara mondial, nasional,
maupun regional; Berpindahnya peduduk ke kota-kota dari perdesaan; Bertambahnya
penduduk bermatapencaharian non-agraris di perdesaan; Tumbuhnya suat permukiman
menjadi kota; Mekarnya atau meluasnya struktur artefaktial-morfologis suatu
kota di kawasan sekitarnya; Meluasnya pengaruh suasana ekonomi kota ke
perdesaan; Meluasnya pengaruh suasana sosial, psikologis, dan kultural kota ke
perdesaan.
· Pertumbuhan
penduduk kota dan urbanisasi (Hauser & Gardner, 1985)
Urbanisasi baru dapat terjadi apabila laju pertumbuhan
penduduk perkotaan lebih besar daripada laju pertumbuhan penduduk perdesaan.
Dengan kata lain apabila laju pertumbuhan keduanya sama, urbanisasi dapat
dikatakan tidak terjadi.
2.3 Perencanaaan dan Peremajaan kota
2.3.1 Teori perencanaan
· Klosterman (1996),
Argumen perlunya dilakukan perencanaan pada domain publik à 1) Argumen ekonomi:
perencanaan dibutuhkan karena mekanisme pasar terbukti tidak mampu menyediakan
berbagai kebutuhan barang dan pelayanan yang dibutuhkan masyarakat; 2) Argumen
pluralist: perencaan dibutuhkan untuk mengatur relasi kekuasaan dan kesetaraan
di dalam masyarakat; 3) Argumen tradisional: dominasi perencana dan arsitek
sebagai motor proses perencanaan dan pembangunan secara umum; serta 4) Argumen
Marxist: perencana dan perencanaan sebagai aktor dan proses yang dapat melawan
dominasi pola kapitalistik di dalam pembangunan.
· Klasifikasi
perencanaan sebagai proses; perencanaan dari atas (top-down) dan bawah
(bottom-up).
· Brooks
(2002)[1],memberikan konseptualisasi atas lokus dan moda perencanaan serta
peran perencana yang timbul sebagai konsekuensi logis atas kombinasi lokus dan
moda perencanaan.
2.3.2 Teori lokasi dan pola keruangan
2.3.4 Sistem perumahan
· Perspektif dasar
pembangunan sistem perumahan à House as a verb and as a noun (Turner, 1976);
Implikasi à 1) Perumahan sebagai komoditas ekonomi, dilihat hanya dari sudut
pandang supply-demand serta dibiarkan dikelola oleh pasar; 2) Perumahan sebagai
kebutuhan dasar, rumah sebagai hak warga negara sehingga Negara memiliki
kewajiban untuk menyediakan perumahan bagi masyarakat; 3) Perumahan di dalam
kerangka welfare state, implikasinya adalah mass production dan prefabrication;
serta 4) Perumahan sebagai pemenuhan kebuthan diri sendiri (self reliance).
· Isu – isu di dalam
sistem pengembangan perumahan: a) peningkatan kualitas perumahan kumuh, b)
penyediaan perumahan secara berimbang, c) keberadaan
2.3.5 Perencanaan transportasi
· “Transportasi
adalah perpindahan seseorang atau barang dari suatu tempat ke tempat lain”
Robinson (1978).

Kota – kota dunia dengan kualitas hidup yang baik, pada
umumnya menerapkan konsep transit-oriented development (TOD) à konsep dimana
sistem transportasi merupakan tulang punggung utama pembentuk struktur kota.
Pada konsep ini simpul transportasi terintegrasi dengan pusat – pusat
aktivitias serta konektivitas antar moda diprioritaskan. Sebagai dampak
langsungnya, masyarakat pada umumnya dapat mengandalkan penggunaan moda
transportasi publik dibandingkan milik sendiri sehingga dapat mengatasi
kemacetan.
2.3.6 Aspek kebencanaan dalam perencanaan
· Aspek kebencanaan
merupakan termasuk aspek yang dipertimbangkan dalam perencanaan kontemporer.
· Aspek kebencaan
dalam perencanaan dapat dilakukan dengan memahami bahwa proses dan produk
perencanaan dipengaruhi dan mempengaruhi
risiko bencana yang dihadapi oleh suatu wilayah/kota.
· Secara umum, para
ahli bersepakat bahwa Risiko bencana (R) merupakan fungsi dari Bahaya (H),
Kerentanan (V), dan Kapasitas (C) à R = (H x V) / C à Dengan demikian,
perencanaan dapat berperan untuk mengurangi kerentanan ataupun meningkatkan
kapasitas terhadap kejadian bencana. Dalam hal ini, perspektif yang perlu
dibangun ialah perencanaan sebagai cara pengurangan risiko bencana (mitigasi
bencana).
· Perencanaan
sendiri dapat berperan di dalam menentukan item mitigasi bencana struktural
(misalnya pembangunan bangunan evakuasi tsunami, banjir kanal, dll) maupun
mitigasi non-struktural (misal: pendidikan kebencanaan, penguatan komunitas,
dll).
2.3.7 Perencanaan partisipatif
· Argumen terhadap
kemunculan perencanaan partisipatif
o Dalam konteks
Indonesia bahwa perencanaan top-down telah gagal dalam mengantarkan pembangunan
yang berkelanjutan sehingga perlu diganti dengan perencanaan yang berasal dari
bawah (bottom-up) (Adisasmita, 2006)[2].
o Perencanaan
top-down dan pengaturan keseimbangan antara peran pemerintah dan pasar telah
gagal dalam mengantarkan layanan kebutuhan bagi masyarakat, gagal
mengetengahkan kehidupan yang berkelanjutan dari dimensi lingkungan dan sosial
(Ife dan Tesoriero, 2006)[3].
· Urgensi
perencanaan partisipatif (Conyers, 1991)
o partisipasi
masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi,
kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat yang tanpa kehadirannya program
pembangunan akan menemui kegagalan.
o masyarakat akan
lebih mempercayai kegiatan atau program pembangunan jika merasa dilibatkan
dalam proses persiapan dan perencanaannya – hal ini berkaitan dengan
pengetahuan detail program pembangunan dan
keberadaan rasa memiliki
o Partisipasi
merupakan manifestasi hak demokrasi masyarakat dalam proses pembangunan.
· Partisipasi adalah
keterlibatan dan pelibatan anggota masyarakat dalam pembangunan, meliputi
kegiatan dalam perencanaan dan pelaksanaan (implementasi) program/proyek
pembangunan yang dikerjakan masyarakat lokal (Adisasmita, 2006:38).
· Osborne (2005)
menguraikan karakteristik perencanaan partisipatif sebagai berikut: a) setiap
warga memiliki suara dalam pembuatan keputusan, b) dilakukan dalam konteks
tunduk pada peraturan hukum, c) adanya keterbukaan, d) ketanggapan terhadap
suara dan potensi masyarakat, e) berorientasi pada kesepakatan bersama, f)
dilakukan dan diimplementasikan secara bertanggungjawab, g) mengedepankan
keadlian, dan h) dilakukansecara efektif dan efisien.
2.3.8 Perencanaan dan politik
· Aktor perencanaan:
The prince (1st system), pembangunan oleh penguasa; the merchant (2nd system),
pembangunan oleh sektor privat, dan the citizen (3rd system), pembangunan oleh
masyarakat dengan endogenous potential, berorientasi pada self-reliance,
pemebuhan basic needs, dan partisipasi.
· Aspek politik
dalam perencanaan, paradigma yang bergeser karena: a) Perkembangan kota sukar
dikendalikan sehingga harus direncanakan dan diakomodasikan; b) Pengambilan
keputusan dalam pembangunan kota lebih banyak dilakukan oleh perorangan atau
organisasi, bukan semata-mata oleh pemerintah kota; c) Keterbatasan pemerintah
dlm mempengaruhi sistem kota secara efektif sehingga aspek tsb diserahkan kepada
mekanisme pasar; d) Adanya kendala keterbatasan sumberdaya yang dihadapi
pemerintah, baik secara nasional maupun lokal (terutama keterbatasan
finansial); e) Kenyataan bahwa standar pelayanan sulit diterapkan pada
masyarakat (isu affordability), menerapkan harga (price) pada pelayanan
tersebut (isu cost recovery), serta bagaimana penyediaan pelayanan tersebut
dapat dialokasikan pada yang membutuhkan (isu equity dan replicability),
sehingga pelayanan tersebut dapat dinikmati oleh kelompok tertentu.
· Di dalam sistem
demokrasi yang dipromosikan secara global, dimensi politik berperan untuk
menjamin akuntabilitas proses dan produk perencanaan. Sebagai konsekuensi
langsung, di dalam proses perencanaan, aspek partisipasi masyarakat perlu
ditingkatkan untuk menjamin akuntabilitas sosial. Lebih lanjut, proses
pemantauan dan evaluasi atas implementasi rencana juga perlu dilakukan melalui
law enforcement serta penguatan check-and-balance antar lembaga sebagai bentuk
akuntabilitas horizontal. Pada akhirnya, masyarakat juga perlu mendapatkan
edukasi politik agar memilih aktor di lembaga eksekutif (gubernur / walikota)
maupun legislatif yang memiliki visi perencanaan serta dapat
mengimplementasikan rencana; hal ini sebagai bentuk akuntabilitas vertikal.
2.3.9 Esensi dan manfaat peremajaan kota
·
2.3.10 Pengembangan kawasan pesisir
· Hubungan antar 10
Ekosistem pesisir (Burbridge & Marangos, 1985, dalam Dahuri, et.al.,1996)
· Delineasi wilayah
pesisir
· Isu / permasalahan
yang dihadapi perencanaan wilayah pesisir: a) over-eksploitasi SDA, misalnya
overfishing; b) ancaman terhadap biodiversitas dan kepunahan spesies; c)
perusakan ekosistem; d) pencemaran dan sedimentasi; e) bencana alam dan
perubahan iklim.
· Urgensi
perencanaan wilayah pesisir untuk dikelola secara terpadu: a) sangat produktif
dan mengandung potensi pembangunan yang tinggi; b) kawasan pesisir merupakan
multiple-use zone; c) Kawasan pesisir menerima dampak negatif berupa
pencemaran, sedimentasi, dan perubahan regim hidrologi akibat aktivitas manusia
& pembangunan di daratan dan juga laut lepas; d) 65% masyarakat pesisir
masih miskin (BPS, 1998), juga dibanyak masyarakat pesisir di negara
berkembang; e) Kawasan pesisir rentan (vulnerable) terhadap perubahan
lingkungan; f) Kawasan pesisir merupakan sumberdaya milik bersama (common
property resource), sehingga pola pemanfaatannya cenderung bersifat open
access, yang mengakibatkan tragedy of the commons.
· Konsep penting:
Integrated Coastal Zone Management à ‘ a continuous and dynamic process by
which decisions are made for the sustainable use, development, and protection
of coastal and marine areas and resources’ (Cicin-Sain and Knect, 1998).
2.4 Pengelolaan kota
2.4.1 Pengelolaan infrastruktur, transportasi
Problem sosial ekonomi perkotaan à faktor penyebab munculnya
proble, sebab-akibat, toleransi sosial masyarakat, solusi sosial-ekonomi
perkotaan
2.4.2 Pengembangan komunitas perkotaan
· Perlu disadari
bahwa terminologi “komunitas” dapat digunakan dalam berbagai konteks dan memiliki
makna bergantung pada konteksnya. Secara singkat, komunitas di perkotaan dapat
terbentuk berkaitan dengan aspek geografis (misalnya: berada pada kelurahan
yang sama), atau fungsi/kepentingan tertentu (misalnya: komunitas keagamaan,
hobi, dll). Sebagai ruang kehidupan bagi masyarakat yang heterogen,
kelompok-kelompok masyarakat di perkotaan umumnya membentuk komunitas
masing-masing, baik secara formal/informal ataupun terikat/sukarela.
· Komunitas dapat
dikategorikan sebagai pendekatan maupun tujuan. Sebagai pendekatan, komunitas
ialah tindakan berkelompok dan bersama untuk mencapai sesuatu yang berguna
/ dijadikan tujuan bersama oleh
komunitas dan individu. Sebagai tujuan, komunitas adalah titik akhir untuk
mempertahankan kebersamaan dan gaya hidup.
· Pengembangan
komunitas juga menjadi sangat penting bagi perencanaan kota karena dianggap
dapat menjadi cara untuk menignkatkan kualitas kehidupan masyarakat perkotaan
(misalnya: komunitas masyarakat berpenghasilan rendah dan/atau tinggal di
kawasan kumuh). Bentuk/pendekatan/entry point pengembangan komunitas perkotaan;
self-help approach, technical assistance, atau social conflict. (Rothman:1974,
Chin & Benne:1976, Crowfoot & Chesler: 1976)
o Self-help merupakan strategi pembangun sebuah komunitas,
yang terdiri dari perencanaan, pembuatan kebijakan, dan pemecahan persoalan
(Christenson and Robcation, 1980); Pendekatan self-help tersebut tidak hanya
menekankan pada “apa” yang diraih oleh komunitas, tetapi lebih penting,
“bagaimana” meraihnya.
o Technical assistance pada dasarnya menitikberatkan
pengembangan komunitas dengan memberikan dukungan teknis (baik berupa barang,
jasa, maupun keahlian) dan sebatas pada perbaikan struktur yang ada di dalam
komunitas; daripada berupaya menggantikan dengan struktur yang baru. Secara
singkat, pengembangan komunitas ditekankan pada transfer “know-how”
o Pendekatan melalui konflik pada dasarnya berupaya
mempertemukan dan memunculkan permasalahan yang ada di tengah masyarakat agar
debat dan dan diskusi atas permasalahan tersebut dilakukan. Di dalam
pengembangan masyarakat, dimungkinkan pula keberadaan pihak ketiga sebagai
fasilitator resolusi konflik.
· Konsep kunci:
community organizing, leadership, organizational development, kerjasama antar
organisasi
· Konsep pengembangan
kapasitas komunitas (Chaskin 2001)
2.4.3 Isu kesehatan dan lingkungan perkotaan
· Millennium
Development Goals di bidang kesehatan dan keterkaitannya dengan perencanaan
kota:
o Peningkatan kualitas hidup di kawasan padat penduduk,
termasuk di dalamnya slum upgrading
o Isu penyediaan fasilitas kesehatan perkotaan.
· Isu – isu
lingkungan perkotaan
o Kota sebagai sumber emisi yang memperparah kejadian
perubahan iklim à perlunya mitigasi perubahan iklim (berbeda dengan mitigasi
pada konteks bencan), yang dimaksud ialah usaha pengurangan emisi gas rumah
kaca yang dihasilkan berbagai kegiatan di perkotaan; misalnya usaha mitigasi di
sektor transportasi, industri, persampahan, bangunan, dll.
o Kota sebagai area yang akan terpapar dampak dari perubahan
iklim à perlunya adaptasi perubahan iklim, yang dimaksud ialah usaha untuk
mengurangi dampak negatif yang mungkin terjadi pada suatu kota; misalnya usaha
untuk mengatur perumahan di tepi pantai agar tidak terpapar kenaikan muka air
laut, dll (dalam hal ini, adaptasi perubahan iklim sangat beririsan dengan
konsep mitigasi pada manajemen bencana).
o Pencemaran udara, air, dan tanah di kawasan perkotaan.
2.4.5 Masa depan perkotaan
· Tantangan dan
implikasi masa depan perkotaan (Devas dan Rakodi, 1992):
o Pertumbuhan kota yang sangat pesat
o Implikasi pertumbuhan kota terhadap kebutuhan prasarana
dan sarana perkotaan
o Mengapa pertumbuhan kota-kota terus berlanjut ?
o Apakah pertumbuhan kota-kota sesuatu yang baik atau buruk
?
o Dapatkah pertumbuhan perkotaan dikendalikan ?
o Apa dan bagaimana pemerintah melakukan intervensi dalam
pembangunan perkotaan?
· Tantangan akibat
pertumbuhan penduduk di perkotaan yang terus berlanjut
2.4.6 Kota-kota di Dunia
2.4.7 Kota di Negara berkembang
· Fenomena kota utama di Asia Tenggara
(Hans-Diever Evers dan R. Korff: 2000) à Modernisasi dan kota global
o Salah satu faktor penyebab berhasilnya modernisasi adalah
kebijakan yang mengarah kepada integrasi internasional. Faktor inilah yang
mendorong perubahan khas kota-kota besar Asia Tenggara.
o Kota-kota utama (primate cities) berubah menjadi
metropolis, yang memiliki keterkaitan sama besar dengan negara sendiri dan
dengan masyarakat metropolitan global.
o Kota utama adalah tempat terartikulasinya globalisasi,
integrasi nasional, dan lokalisasi.
o Proses globalisasi, integrasi nasional dan lokalisasi ini
berakar di dan menyebar jauh ke luar metropolis, ketiganya berlangsung di kota
sehingga menimbulkan ambivalensi à Kota ini bukan kota global, bukan
kota nasional atau lokal, tetapi
kombinasinya ketiganya.
· Semua kota
besa Asia Tenggara memiliki ciri primate cities (kota utama) yang sangat
menonjol (Chong, 1976) : Semua ibukota negara di Asia Tenggara pastilah
terbesar di negaranya; Penduduknya beberapa kali lipat dari jumlah penduduk di
kota kedua; Memiliki pelabuhan terbesar; Merupakan tempat kedudukan kantor
pusat bisnis dan pemerintahan; Sebagai pusat kebudayaan dan sosial; Merupakan
lokasi utama bagi produksi industri
2.4.8 Kota di negara maju

Ciri khas kota-kota Eropa, Amerika, Asia, Afrika, Australia

Gambar – Ciri khas Struktur Kota peninggalan kolonialisme di
Asia Tenggara